Analisis Puisi: Aku Sering Enggan

 


Oleh:Putri Masitoh Amin

 

Berikut puisi secara lengkap yang dikutip dari buku “SESOBEK BUKU HARIAN INDONESIA”,Mei 1993,Penerbit “BENTANG INTERVISI UTAMA,PT.

Aku sering enggan

Ikut ramai ramai sembahyang

Sebab sehabis mengucapkan akhir salam

Orang bergegas pulang.

 

Tak ada suasana pergaulan

Dengan tuhan

Tak ada kesan bahwa ke masjid

Ialah bertamu dan bersujud.

 

Aku sering enggan

Ikut ramai ramai sembahyang

Sebab ia menjadi satu satunya ukuran

Baik buruk dan iman seseorang.

 

A.Makna Puisi Aku Sering Enggan

Puisi “Aku Sering Enggann” mengkritik praktik ibadah yang dilakukan hanya sebagai rutinitas sosial tanpa pengalaman spiritual. Penulis menyoroti bagaimana ibadah sering kali hanya dilihat sebagai kewajiban sosial, dan penilaian moral seseorang lebih didasarkan pada kehadiran fisik dalam ibadah daripada pada niat dan kedalaman imannya. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna ibadah yang sebenarnya, yaitu hubungan pribadi dan spiritual dengan Tuhan, dan menolak penilaian sosial yang hanya melihat aspek eksternal. 

B.Tema Utama

Tema utama puisi ini adalah kritik terhadap formalitas ibadah. Pengarang mengungkapkan keprihatinannya terhadap ritual ibadah yang telah kehilangan nilai spiritualnya. Ibadah dianggap hanya sebagai kewajiban formal dan ukuran religiusitas seseorang, tanpa benar-benar menghadirkan makna yang mendalam dalam hubungan dengan Tuhan atau manusia.

C.Nada dan Suasana

 Nada: Puisi ini memiliki nada kritis. Emha Ainun Nadjib tidak menggunakan nada konfrontatif, melainkan menyampaikan kritik secara halus, introspeksi. Nada: Puisi ini bernada reflektif dan kritis. Emha Ainun Nadjib tidak menggunakan nada konfrontatif, namun menyampaikan kritik secara halus, introspektif, namun tetap tegas menunjukkan kejujurannya, sikapnya yang kreatif, namun tetap menunjukkan perhatiannya dengan tegas.

Suasana: Suasana dalam puisi ini mencerminkan perasaan kecewa terhadap praktik keagamaan yang cenderung dangkal. Pembaca diajak merenungkan makna ibadah yang sebenarnya dan hubungan manusia dengan Tuhan.

 D.Kajian Sosiologis Pengarang

Sastra adalah cerminan kehidupan manusia yang ada di sekitarnya. Sastra juga bisa di artikan sebagai anak tunggal si pengarang. Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra sering digunakan untuk mengungkapkan pengalaman pribadi, kritik sosial, dan refleksi atas nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini, puisi juga dapat menjadi media untuk mengungkapkan kegelisahan, pandangan kritis, dan harapan akan perubahan sosial.

Analisis puisi “Aku Sering Enggan” ini, menggunakan pendekatan sosiologi pengarang. Pendekatan sosiologi pengarang menyoroti hubungan antara karya sastra dengan kondisi sosial pengarangnya. Dalam puisi ini, terdapat kritik terhadap kebiasaan masyarakat dalam menjalankan ibadah dan hubungannya dengan norma agama.

Emha Ainun Nadjib dikenal sebagai seorang budayawan, penyair, dan tokoh spiritual yang memiliki perhatian besar terhadap masalah keagamaan dan sosial. Dalam karya-karyanya, pengarang kerap mengkritisi praktik keagamaan yang bersifat formalistik tanpa substansi spiritual. Beliau juga sering menyerukan pentingnya keikhlasan dan kedalaman dalam menjalankan agama, daripada sekadar mengejar pengakuan sosial. Hal ini tercermin dalam puisi tersebut.

 

 

 

“Aku sering enggan

Ikut ramai ramai sembahyang

Sebab sehabis mengucapkan akhir salam

Orang bergegas pulang.”

“Aku sering enggan ikut ramai-ramai sembahyang, sebab sehabis mengucapkan akhir salam, orang bergegas pulang.” 

 Pada kutipan puisi “Aku sering enggan ikut ramai-ramai sembahyang, sebab sehabis mengucapkan akhir salam, orang bergegas pulang” menggambarkan tentang ketidakpuasan penulis terhadap sosial yang ada di masyarakatnya. Pengarang menyoroti ibadah berjamaah yang telah kehilangan makna spiritualnya. Ibadah yang seharusnya menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, kini lebih dianggap sebagai kewajiban sosial yang dilakukan tanpa pemahaman yang mendalam. Banyak orang yang melakukannya hanya untuk memenuhi harapan sosial, bukan untuk merasakan hikmat spiritual. Kutipan tersebut pengarang menyoroti tentang  masyarakat dalam beribadah sering kali lebih berfokus pada penampilan luar, seperti tampilannya pada orang lain, daripada kualitas hubungan batiniah dengan Tuhan. Hal ini mencerminkan masyarakat yang lebih mengutamakan penampilan dan status dari pada pencapaian spiritual. Fenomena ini menunjukkan kuatnya pengaruh budaya sosial, di mana ibadah lebih dipandang sebagai kewajiban formal dari pada sarana untuk memperdalam ketakwaan. Kutipan puisi ini menekankan pentingnya mengubah cara pandang terhadap ibadah, dengan menekankan hakikat dan keikhlasan spiritual, daripada sekadar memenuhi tuntutan sosial belaka.

“Tak ada suasana pergaulan

Dengan tuhan

Tak ada kesan bahwa ke masjid

Ialah bertamu dan bersujud.” 

Pada kutipan puisi “Tak ada kesan bahwa ke masjid ialah bertamu dan bersujud” tersebut, menjelaskan bahwa fungsi masjid yang seharusnya menjadi tempat beribadah dan refleksi spiritual, pada sosial masyaakat pengarang kini kerap hanya menjadi tempat ritual yang kehilangan maknanya. Di masyarakat, ibadah berjamaah sering kali dipandang sebagai ukuran moralitas, bukan sebagai hubungan pribadi dengan Tuhan. Hal ini menunjukkan bagaimana norma sosial menekan individu untuk memenuhi harapan masyarakat, bukan karena keimanan pribadi. Tekanan sosial ini menyebabkan banyak orang melakukan ibadah hanya untuk memenuhi standar yang ditetapkan masyarakat, bukan karena kesadaran spiritual. Ibadah yang seharusnya

menjadi sarana untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan, justru menjadi ajang untuk memenuhi tuntutan sosial yang ada.

“ Aku sering enggan

Ikut ramai ramai sembahyang

Sebab ia menjadi satu satunya ukuran

Baik buruk dan iman seseorang.”

 Pada kutipan puisi “Sebab ia menjadi satu-satunya ukuran baik buruk dan iman seseorang” ini, menggambarkan tentang kritikan sang pengarang terhadap pandangan masyarakat sekitarnya yang menilai kebaikan dan keimanan seseorang hanya dari kehadirannya dalam ibadah berjamaah. Pandangan ini mereduksi nilai-nilai spiritual menjadi simbol-simbol sosial yang dangkal, di mana fokusnya lebih pada penampilan luar daripada makna ibadah itu sendiri. Ibadah yang seharusnya menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, justru dianggap sebagai ukuran utama keimanan seseorang. Puisi ini juga menunjukkan bagaimana individu dengan cara atau pengalaman spiritual yang berbeda sering kali dianggap tidak sesuai dengan norma kolektif masyarakat. Masyarakat lebih menghargai keseragaman daripada menghargai keberagaman spiritual, mengabaikan fakta bahwa setiap orang memiliki jalan yang berbeda dalam mendekatkan diri kepada Tuhan,

 E.Kesimpulan

Puisi ini merefleksikan ketegangan antara nilai-nilai spiritual personal dan tekanan sosial dalam praktik keagamaan. Pengarang menggambarkan adanya kesenjangan antara ekspektasi masyarakat terhadap perilaku keagamaan dan apresiasi iman yang lebih mendalam. Kehidupan sosial sering kali mengabaikan kedalaman spiritual seseorang, dengan lebih menekankan formalitas ibadah sebagai standar moralitas.

Dengan pendekatan sosiologi pengarang, puisi ini merupakan refleksi kondisi sosial masyarakat pengarang yang cenderung mengutamakan formalitas ibadah dan penilaian eksternal terhadap iman. Kritik ini mendorong pembaca untuk mengevaluasi kembali praktik keagamaan sosial dan mengeksplorasi esensi spiritual yang lebih personal. Puisi ini relevan sebagai potret realitas sosial yang sering terjadi dalam kehidupan beragama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak