Oleh: Agus
Miftahorrahman
Halte di
kotaku bukan hanya tempat perhentian kendaraan umum yang juga limosin bagi
masyarakat golongan bawah. Maklum, di sini UMK nya begitu rendah sehingga halte
menjadi tempat nan istimewa. Menunggu moda transportasi sekaligus menikmati
atraksi kehidupan.
Sebagai
menjalankan fungsi utamanya sebagai tempat pemberhentian kendaraan, halte di
kotaku juga menjadi daya tarik luar biasa yang membuat berbagai hal yang
terjadi di dalamnya mencuri perhatian hampir seluruh masyarakat kota. Tak
jarang, kejadian-kejadian di Halte kota menjadi headline di koran lokal ternama
di sini.
"PEREMPUAN GILA MENANGIS DAN MENGGILA SEMALAMAN DI HALTE KOTA" begitulah bunyi headline koran kota hari ini.
Mau dibilang
misogini, tapi memang tidak ada hal menarik di kota ini kecuali hal-hal yang
terjadi di halte kota.
"Diduga
karena patah hati dan dicampakkan oleh pasangannya, seorang perempuan cantik
nan jelita menangis sejadi-jadinya di halte kota tercinta kita. Isak tangisnya
terdengar semalaman membuat banyak orang yang tinggal di sekitar halte merasa
prihatin dan menawarkan lipur lara. Sayang, perempuan itu terus menangis
menghabisi malam."
Gila! Ucapku
usai membaca paragraf pembuka headline koran itu. Bisa-bisanya asumsi dipakai
oleh para redaktur koran itu tanpa adanya klarifikasi, membuat perempuan cantik
nan jelita yang belum tentu gila dan barang kali hanya patah hati dan ingin
mengungkapkan kegelisahan dan kesedihannya melalui isak tangis lantas dicap
sebagai perempuan gila.
Penolakan
terus muncul dalam otakku yang terus menerima informasi dari mata yang membaca
naskah berita itu sampai usai. Bisa saja perempuan itu hanya patah hati, bisa
saja perempuan itu hanya terluka hatinya, bisa saja perempuan itu hanya
bersedih karena ketulusannya dibalas dengan dusta dan penghianatan, dan bisa
saja lain yang terus diorasikan otak dan nuraniku.
"Padahal
halte itu kan tempat umum, siapa saja bisa berekspresi di sana. Mau sedih,
bahagia, ataupun emosi lainnya. Apa salahnya menjadi manusia yang berekspresi.
Menjadi manusia yang punya rasa dan selera," sanggahku mengatai halaman
koran yang masih kupegang erat-erat.
Kasihan,
padahal bulan kemarin di halte itu juga ada laki-laki yang menangis tanpa henti
semalaman. Namun redaktur koran kota tidak menulisnya sebagai "laki-laki
gila yang menangis di halte kota,"
Entah, apa
judul pastinya, aku pun lupa. Yang kuingat, laki-laki itu menangis karena
ditinggal nikah oleh kekasihnya. Kasihan sekali, tapi entah kenapa nama dan
tampang lelaki yang jelas-jelas menjadi headline koran itu tak bisa kuingat
sama sekali, mungkin temanku bisa mengingat dan memberitahunya kepadaku.
Bondowoso
(2/11/24)