Yuk ke Bondowoso: Mengenal Tradisi Ojhung

Sumber foto: merdekacom


Oleh: Ranie Mores Syabilla

Pernahkah pembaca berkunjung ke kabupaten Bondowoso? Bagi sebagian orang, Kabupaten ini masih terdengar asing di telinga masyarakat luas. Kadang ada juga yang menyamakan Bondowoso dan kabupaten sebelah yakni Situbondo, padahal keduanya merupakan kabupaten yang berbeda. Ada juga yang menganggap bahwa Bondowoso adalah bagian dari Kabupaten Situbondo, dan hal tersebut sangatlah tidak benar.  Melalui tulisan ini saya akan menjelaskan sedikit tentang daerah tempat saya dibesarkan bernama Bondowoso dan salah satu tradisi yang sudah sepatutnya untuk selalu dirawat dan lestarikan khususnya dikalangan generasi muda mengenai tradisi Ojhung.

Kabupaten Bondowoso merupakan salah satu kabupaten dalam Provinsi Jawa Timur, Indonesia yang terletak di sebelah timur Pulau Jawa. Kabupaten Bondowoso identik dengan sebutan Bandabasa  (Madura: Bandabasa) yang mempunyai  arti  Bondo (modal) dan Woso (kuasa) lebih jelasnya seseorang yang mempunyai modal ialah yang berkuasa. Dikutip dari website resmi pemerintah kabupaten Bondowoso, wilayah ini terdiri dari 23 kecamatan, 10 kelurahan, dan 209 desa (dari total 666 kecamatan, 777 kelurahan, dan 7.724 desa di Jawa Timur). Dengan jumlah penduduknya mencapai 781.753 jiwa dengan luas wilayah 1.525,97 km² dan sebaran penduduk 512 jiwa/km²  pada tahun 2017. Jadi sangatlah jelas bahwa Bondowoso (madura: Bandabasa) tidaklah sama dengan kabupaten Situbondo apalagi sampai menjadi bagian didalamnya karena daerah tersebut memiliki struktur pemerintahannya masing-masing meskipun baik Bondowoso maupun Situbondo sama-sama penduduknya mayoritas dari suku madura.

Kabupaten Bondowoso juga terkenal dengan julukan kota tape dan bukan tanpa alasan orang menyebutnya kota tape mengingat tape (madura: tapai) merupakan salah satu jajanan khas yang menjadi icon di kabupaten ini. Meskipun tidak memiliki pantai seperti kabupaten sekitarnya seperti Situbondo maupun Jember namun keadaan alam di Bondowoso tidak kalah keren dan indah apalagi jika berkaitan dengan panorama alamnya seperti gunung, hutan, air terjun, bendungan, sungai, dan bahkan objek wisata berbasis pendidikan juga ada di kabupaten Bondowoso.

Tidak hanya dari segi alamnya, Bondowoso memiliki tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu, seperti singo ulung, topeng kona, macapat, kentrong, dan bahkan wayang kattok dan masih banyak lagi yang tidak bisa tulis satu persatu. Namun yang menjadi pembahasan khusus tulisan ini adalah tradisi yang menurut saya begitu menarik dan nampak begitu ekstrim yakni tradisi Ojhung (madura: ojjungan).

Bagi yang tidak tau tradisi ojhung, tradisi ini memadukan ketangkasan, seni, religi dan beladiri dimana para peserta akan saling cambuk menggunakan rotan tanpa menggunakan pelindung tubuh sama sekali (kedua petarung saling cambuk saling pukul menggunakan rotan ditangannya). Tentu bagi orang yang belum terbiasa sangatlah berbahaya karena akan  menimbulkan luka atau memar. Ojhung juga bukanlah sebuah kesenian yang biasa-biasa saja karena biasanya kesenian tersebut dijadikan sebagai sebuah ritual untuk menurunkan hujan ketika daerah kami di Bondowoso mengalami musim kemarau panjang. Menurut penyampaian Ahmad Taufik dalam tulisannya di phenom, para pemain ojhung percaya bahwa semakin banyak darah yang diteteskan akan semakin cepat turun hujan. Dan tradisi ini tidak menyertakan rasa dendam setelah selesai pertarungan dan baku cambuk, mereka akan kembali berjabat tangan dan rukun. Bagi pembaca yang datang ke Bondowoso untuk berlibur dan berniat menikmati tradisi Ojhung tentu sangatlah tepat karena baru-baru ini tradisi tersebut dibawakan satu paket dengan tari Singo Ulung dan Topeng Kona jadi kita bisa menikmati kebudayaan yang lainnya di Bondowoso. Namun jika ingin melihat tari ojhung yang digunakan untuk ritual, datanglah ke Bondowoso ketika musim kemarau panjang. Ada beberapa wilayah yang masih mempertahankan tradisi Ojhung seperti wilayah Leprak kecamatan Prajekan, desa Blimbing kecamatan tapen dan juga di kecamatan Cermee.

 

Peran Generasi Muda Dibutuhkan

Betapa kurang lengkap rasanya menjadi generasi muda apabila tidak bisa merawat dan menjaga kearifan lokal yang dimiliki, bukan tidak mungkin Bondowoso akan menjadi daerah yang terbelakang karena tidak memiliki keunikan dan daya tarik tersendiri. Kita harus memiliki kesadaran diri untuk terus melestarikan kebudayaan yang ada di lingkungan tempat kita terlahir. Sebagai contoh salah satu tradisi dan kebudayaan yang ada di bondowoso yaitu Tradisi Ojhung.

Perkembangan teknologi dan informasi sangatlah pesat sehingga melahirkan globalisasi. Dan globalisasi banyak memakan korban bagi mereka yang kurang pengetahuan. Seakan-akan semua yang baru dan lagi viral merupakan sesuatu yang baik dan keren. Padahal tidaklah begitu, gaya hidup kebarat-baratan misalnya, tentu bukanlah karakter orang Indonesia apalagi orang Bondowoso yang hanya akan menghilangkan jati dirinya. Percayalah bahwa masyarakat yang adiluhung adalah masyarakat yang dibesarkan oleh budaya, Bali contohnya. Bali terlihat keren bukan karena sanur atau kuta, tetapi kebudayaannya yang menjadi daya tarik nomor satu wisatawan datang kesana. Begitu pula dengan di Bondowoso, generasi muda haruslah bangga dan aktif mempromosikannya ke dunia globalisasi. Dimulai dari langkah sederhana saja, yakni memperhatikan tradisi ojhung dan mempelajarinya atau aktif membentuk sanggar-sanggar kebudayaan di setiap desa, tujuannya satu supaya tradisi tersebut tidaklah punah. Dan semua itu butuh kesadaran dan keinginan yang kuat dari semua masyarakat di Bondowoso baik yang muda maupun yang tua.

 

Penulis

Ranie Mores Syabilla, konten kreator di Bondowoso.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak