Oleh:
Alif Febriyantoro
Hari Pertama
Pukul
14.15. Langit mendung. Sebuah lagu terdengar dari warung kopi: Mendung tanpo udan, ketemu lan kelangan....
Sementara
di seberang warung kopi itu, di depan gerbang masuk sebuah Bank Konvensional, terlihat
dua orang sedang bercakap-cakap.
“Siapa
yang mengambil tas Anda?” tanya seorang satpam.
“Pria
berbaju hitam.” Wanita itu menjawab cepat.
“Saya
tanya siapa, bukan warna baju orang yang mengambil tas Anda.”
“Saya
juga tidak tahu. Yang jelas pria itu memakai baju hitam.”
“Repot
kalau sudah begini.”
“Bapak
ini bagaimana.”
“Lho,
jangan tanya saya bagaimana. Salah Anda sendiri tidak teliti dan tidak
hati-hati.”
“Ya mau
bagaimana lagi, yang ditangkap kedua mata kepala saya hanya pria berbaju hitam.”
“Anda ingat
wajahnya?”
“Bapak
ini bagaimana. Pria itu pakai masker.”
“Hmm.... Kalau
bentuk rambutnya?”
“Tidak.”
“Repot
kalau sudah begini.”
“Bapak
ini bagaimana. Niat mau bantu saya apa tidak?”
“Sebentar.
Coba Anda ceritakan dari awal.”
Wanita
itu berdeham sebentar kemudian membuka maskernya.
“Baiklah.
Jadi begini... #@_+(*&%#@$^*)_*^$#@#&*)^#(*&%#$@@$^#....”
Pukul
15.30. Masih belum hujan.
“Jadi,
pria itu memang berbaju hitam dan pakai masker?”
“Bapak ini bagaimana, kan sudah saya bilang dari awal.”
Hari Kedua
“Aku
ingin mengembalikan tas ini kepada wanita itu.”
“Kau ini
polos sekali.”
“Percuma.”
“Kenapa?”
“Di dalam
tas ini hanya berisi kenangan.”
“Wee
lha.”
Kedua
pria yang sama-sama mengenakan baju hitam itu terdiam.
“Kenapa
kau malah diam?”
“Aku diam
karena kau juga diam.”
“Jadi bagaimana?”
“Apanya?”
“Tas ini jadi
aku kembalikan atau tidak?”
“Hmm... pilihan
yang sulit.”
“Tapi
apakah kau sudah tahu?”
“Apa?”
“Sebenarnya
aku salah mencopet tas orang.”
“Wee lha.”
Hari ketiga
Pukul
16.20. Hujan turun makin deras dan kilatan petir berkali-kali muncul. Belum
lagi angin yang berembus kencang, yang menggoyangkan pepohonan sehingga daun
dan ranting mulai berjatuhan. Hujan turun makin deras dan suara air yang
membentur atap terdengar begitu ribut. Wanita itu duduk di dekat jendela. Ia memandang
hujan, tapi ia tidak melihat hujan. Di dalam pikirannya, ia hanya membayangkan
sebuah tas yang hilang dua hari yang lalu.
“Aduh, bagaimana
ini,” kata wanita itu kepada dirinya sendiri. “Kalau sampai dokumen itu
tersebar bisa gawat.”
Wanita
itu masih memandang ke luar jendela.
Dan tiba-tiba
ponselnya berdering.
“Halo?”
Ia
menekan tombol volume paling atas dan mendekatkan bagian bawah ponselnya di
depan bibirnya yang merah merona. “Apa, Sayang? Tidak dengar. Di sini hujan.”
Kini
terdengar suara dari ponselnya. Tapi penulis cerita ini tidak bisa mendengarnya
dengan jelas.
“Oalah,
kamu tau siapa yang mencopet tasku? Sekarang kamu di mana? Langsung saja kamu
ke sini dan ceritakan semuanya.”
“Apa?
Mantel?”
“Tidak
usah pakai mantel. Hujan-hujanan saja. Toh nanti sampai sini kamu bisa mandi
dan mengganti pakaianmu.”
Pukul
16.50. Percakapan berakhir. Tapi hujan turun makin deras. Dan semakin deras
lagi.
Hari Keempat
“Bagaimana?”
“Apanya?”
“Kau
sudah mengembalikan tas itu?”
“Sudah.”
“Jadi
bagaimana?”
“Semuanya
sudah beres.”
“Bagaimana
kau bisa kembali dengan selamat?”
“Maksudmu?”
“Apakah
wanita itu tidak melaporkanmu ke polisi?”
“Tidak.”
“Kenapa
seperti itu?”
“Kau ini
bagaimana. Wanita itu pacarku!”
“Wee lha.
Apa pacarmu itu tidak sadar kalau kau yang mencopet tasnya?”
“Tentu
saja dia tidak menyadarinya.”
“Kenapa
seperti itu?”
“Kan aku
pakai masker. Goblok!”
“Kau yang
goblok! Sudah tau dia pacarmu tapi kenapa kau malah mencopet tasnya?”
“Lama-lama
kutabok juga kau ya! Bagaimana aku bisa tau kalau dia pacarku sementara waktu
itu dia juga pakai masker?”
“Wee lha.
Jadi?”
“Apa
lagi?”
“Siapa
yang goblok?”
“Pemerintah!”
(*)